Minggu, 04 Desember 2011

Teguran Untuk Kalian Yang Menjadi Wasilah Hidayah Allah Bagi Kami

Bismillah.

Catatan ini untuk kaum salafiyiin seluruhnya dimanapun engkau berada,
Terutama untuk calon ustadz dan ulama masa depan kita semua,
Dari kami nan masih hijau di atas manhaj salaf nan mulia,
Bagi nan masih tegar semoga diberikan ketetapan hati untuk menapakinya,
Pun pula bagi nan telah mulai mengendor semoga dapat sedikit menjadi kencang seperti semula,
Semoga ia dapat memberi manfaat bagi kita semua,
Aamiin.

Kata pengantar:
Kutuliskan catatan ini untukmu wahai saudara dan saudariku yang kucinta dan kusayang karena Allah, insya Allah. Kutuliskan catatan ini dengan gejolak emosi yang tak terlukiskan. Entahlah, entah apa hasil akhir dari rangkaian tulisan ini, apakah akan runut atau tidak maka aku tak peduli. Pokoknya hari ini aku hanya mau menuliskan sesuatu untuk kalian, semoga bermanfaat.

O iya, selanjutnya (setelah bagian kata pengantar ini) aku akan menggunakan kata ganti ‘kami’ karena sesungguhnya catatan ini bukanlah catatanku pribadi. Catatan ini adalah catatan teman-temanku pula, yaitu catatan teman-teman seperjuanganku sewaktu kuliah di sebuah kota, serta catatan beberapa teman-temanku di kampung halaman yang mengalami nasib serupa, tepatnya keserupaan nasib dalam mencari hidayah dan mempertahankannya didalam hati-hati kami, pula didalam jiwa- jiwa kami, insya Allah

Yang ingin kami sampaikan:
Inspirasi kami dalam menulis catatan ini adalah beberapa peristiwa yang kami alami dan dialog-dialog kami dengan beberapa orang yang kami anggap ‘alim, atau setidaknya lebih ‘alim dari kami-kami ini. Berikut adalah dialognya:

Dialog 1
Kami : Sungguh kami ingin seperti kalian ya akhi/ukhty. Dapat menjadi seorang santri di sebuah pondok pesantren yang telah bermanhaj salaf, menimba ilmu dari para asatidz, bisa berbahasa Arab dan lain sebagainya, insya Allah.

Dia: Kemudian mulailah ia memberi kami beberapa nasihat dari nasihat kenabian yang membuat diri-diri kami terkagum-kagum pada keindahan nasihat yang diberikan dan kepada orang yang memberi nasihat itu. Namun, tak usahlah nasihat-nasihat tersebut kami sebutkan disini karena kami khawatir akan terlalu panjang jadinya tulisan ini.

Kami: Jazakillah khairan ya ukhty (Jazakkallahu khairan ya akhiy), sungguh besar kesyukuran didalam hati-hati kami kepada Allah Ta’ala karena dapat mengenal anti/anta, insya Allah.

Dialog 2
Kami : Sungguh kami ingin seperti kalian ya akhi/ukhty. Kalian telah terdidik dengan didikan manhaj yang haq ini dari dalam rumah-rumah kalian sendiri, kalian mendapatkan contoh dan teladan langsung dari orangtua kalian, insya Allah.

Dia : Kemudian bermacam-macam pengalaman keluar dari mulutnya yang membuat kami terkagum-kagum pula kepada pengalamannya dan juga kepada orang yang mempunyai pengalaman itu.

***

Eits, jangan salah tafsir dulu, kami disini telah faham bahwa kami tak boleh fanatik kepada sebuah mazhab, tak boleh fanatik kepada para ulama dan para ustadz, sehingga tentu pula kami juga faham kalau tak ada alasan bagi kami untuk fanatik kepada kalian. Tidak, bukan itu maksud kami menuliskan catatan ini, insya Allah. Kami faham jika kalian adalah juga mahkluk Allah yang bernama manusia seperti halnya kami, tak ada yang sempurna, semuanya pernah salah dan lupa, sekali lagi kami faham, insya Allah.

Catatan ini hanyalah semata-mata kami niatkan sebagai pengingat bagi yang tengah lupa dan sebagai pemotivasi bagi yang sedang futur meski kami sadar bahwa catatan ini tentu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan peringatan kenabian dan motivasi para ulama.

Kepada pembaca semuanya, sebelum melanjutkan membaca catatan ini maka kami anjurkan kalian untuk terlebih dahulu membaca catatan saudara kami lainnya yang berjudul “Dimana Kita Yang Dahulu?” , agar lebih banyak ibrah yang bisa diambil, insya Allah. Namun, jika kalian adalah bagian dari teman-teman kami yang cukup sibuk maka berikut kami copaskan beberapa bagian penting dari catatan itu pada halaman ini, insya Allah.

...Sama persis dengan yang dulu juga pernah saya alami,
Sebuah fase yang saya yakin hampir semua dari kita mengalaminya dahulu,
yaitu ketika kita juga baru mengenal kebenaran ini,
lalu pertanyaannya,
dimana kita yang dulu?

Adakah kita masih bersemangat ingin mendakwahkan kebenaran ini kepada orang tua, keluarga, dan karib kerabat, seperti dahulu ketika kita baru mengenal kebenaran?

Adakah kita masih menangis jika mendengar kajian-kajian yang dibacakan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah di dalamnya, seperti dahulu ketika kita baru mengenal kebenaran?

Adakah kita masih bersemangat untuk mendatangi majelis-majelis ilmu, seperti dahulu ketika kita baru mengenal kebenaran?

Adakah kita masih memperhatikan ibadah kita apakah sudah sesuai sunnah NabiNya atau belum, seperti dahulu ketika kita baru mengenal kebenaran?

Ataukah hanya tertinggal pakaian yang ‘sunnah’ saja pada diri kita, tanpa ada semangat, tangis, dan perhatian lagi??

Yaa Muqollibal quluub.. tsabit quluubanaa ‘alaa diinik.

***

Kawan-kawan sekalian, sering kami berkenalan dengan seorang ‘alim dari kalangan penuntut ilmu, [ingat, penuntut ilmu, bukan dari kalangan ustadz dan ulama karena kami tak punya bagian untuk berbicara apa-apa tentang mereka] dimana disaat berkenalan dengan mereka-mereka itu sungguh begitu besar kesyukuran kami kepada Allah Ta’ala karena banyak ilmu dan nasihat nan bisa kami peroleh dari lisan dan perbuatan mereka. Aduhai, bagi seseorang yang baru saja memperoleh hidayah (baca:manhaj salaf) maka bertemu dengan orang-orang shalih adalah sebuah karunia tak terkira baginya, insya Allah.

Kami yang dahulu ketika baru mendapat hidayah sungguh telah berguling-guling agar hidayah itu tak lepas dari dada-dada kami, berpayah-payah kami, berletih-letih kami, pun tak melankolis rasanya jika kami katakan berdarah-darah perjuangan kami demi bisa berada di atas manhaj ini, insya Allah walhamdulillah.

Awalnya memang kami berubah menjadi orang-orang yang ‘ekstrim’ karena halal dan haram serta sunnah dan bid’ah baru terpola dalam hati dan fikiran kami. Ilmu kami masih cetek dan pengalaman kami pula masih dangkal sehingga kadang menangis sendiri kami jika teringat akan kenangan-kenangan kami kala itu, dimana banyak orang yang lari dari kami (dan lari dari manhaj salaf yang mulia ini) karena kamilah yang terlalu ‘fundamentalis’. Astagfirullaah, itu salah kami, itulah penyakit kami para pemula dalam manhaj salaf yang haq ini dan tentu kalian yang telah berpengalaman telah mengerti arah pembicaraan kami ini, insya Allah. Begitulah, namun bukan itu inti catatan kami kali ini.

Sekarang telah sekian tahun berlalu, telah sekian tahun kami berada di atas manhaj penuh berkah ini, insya Allah dan itupun berkat pertolongan dan motivasi kalian wahai kawan-kawan sekalian, selain pertolongan dari Allah tentunya, insya Allah walhamdulillah.

Namun, kami menjadi terheran-heran sendiri, apakah setelah rentang waktu tertentu seorang penuntut ilmu yang tadinya giat akan mengendor semangat dan ilmunya? Hari ini menimpa saudara-saudara kami maka tak lama lagi akankah menimpa kami pula? Apakah ini telah menjadi sunnatullah bagi seorang penuntut ilmu atau hanya karena factor ‘x’ saja, yang beda orang tentu beda pula fator ‘x’-nya?

Mungkin kalian akan menertawai kami, “Tentu mereka bisa bicara seperti itu karena sekarang mereka tengah berada pada masa-masa ‘jaya’nya (baca:puber dalam da’wah), lihat saja sebentar lagi jika telah tiba waktunya mereka akan pula mengalami apa-apa yang tengah kita alami.”

Yah, futur tentu adalah sebuah sunnatullah karena bukankah iman kita akan bertambah karena keta’atan dan akan berkurang dengan kemaksiatan? Tapi setidaknya, mumpung disaat kami tengah pada masa ‘jaya’ inilah kami bisa memberi sebuah masukan kepada kalian semuanya, sebab jikalah nanti kami telah menjadi seperti kalian tentu kita telah berada pada posisi yang sama, bukan begitu? Namun, kami tetap berdo’a kepada Allah agar kami dan kaum muslimin seluruhnya dijaga dari segala dosa dan kemaksiatan serta semoga Allah tetap condongkan hati-hati kami dan kalian semuanya kepada sunnah meski kita tengah berada disaat-saat futur sekalipun, sebagaimana sabda Rasulullah sallahu ‘alaihiwasallam:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةٌ وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ)رواه أحمد 2/210 وهو في صحيح الترغيب رقم 55 .

Dari Abdullah bin Amru berkata, bersabda Rasulullah sallahu alaihiwasallam : “Setiap amal itu ada masa semangatnya, dan pada setiap masa semangat itu ada masa futur (bosan). Barangsiapa yang ketika futur tetap berpegang kepada sunnahku, maka sesungguhnya ia telah memperoleh petunjuk. Dan barangsiapa yang ketika futur berpegang kepada selain sunnahku, maka sesungguhnya ia telah tersesat.” [ HR. Ahmad, dalam shahih At Targhib no. 55 ]

Wahai engkau para santri/santriawati yang telah terbiasa dengan pendidikan kenabian! Pula bagi kalian wahai para ikhwan dan akhowat yang telah ‘bermadrasah’ dirumah-rumah kalian sendiri! Kalaulah kami meminjam bahasanya ustadz Armen Halim Naro Rahimahullah, “Wahai kalian yang berjiwa hanif”, bersyukurlah kalian kepada Allah Ta’ala karena betapa lapangnya jalan yang kalian jalani untuk sampai kepada manhaj ini, tak perlu berpeluh-peluh kalian dalam berpetualang dari satu ‘kelompok keislaman’ ke kelompok lainnya, yang lain kelompok lain pula penyimpangannya, tak seperti kami yang awalnya sangat benci kepada manhaj ini akibat kebodohan kami, telah terbuang sia-sia umur kami didalam kelompok-kelompok tertentu, dan disaat hijrahpun banyak sekali tekanan yang kami hadapi, yang mana untuk poin ini maka tak usahlah kami ceritakan disini.

Kalian telah diajari untuk menutup ‘aurat-‘aurat kalian sedari balita oleh ibu-ibu kalian, sedang kami? Tahukah kalian, tak jarang kami dihujat oleh keluarga kami sendiri, oleh bapak dan ibu kami sendiri, oleh masyarakat kampung kami sendiri dengan bermacam-macam hujatan dan hinaan, “Dasar anak durhaka” bahkan “Dasar kafir” keluar dari lisan-lisan orangtua kami yang kami faham hal itu mereka lakukan karena begitu sayangnya mereka kepada kami, akan tetapi rasa sayang mereka tersebut adakalanya tidak atas dasar ilmu islam yang mulia.

Jilbab kami digunting-gunting dan selanjutnya kami disuruh untuk berpakaian ala orang-orang ‘modern’ yang sekarang gampang sekali kalian temui di pasar-pasar, jangankan di pasar-pasar modern bahkan di pasar-pasar tradisional dan di pasar-pasar ikan sekalipun akan sangat gampang kalian dapati pakaian-pakaian model begitu.

Butuh waktu lama bagi kami untuk memberi pengertian kepada orangtua kami, kepada keluarga kami, kepada masyarakat kampung kami akan wajibnya menutup ‘aurat, terlebih lagi untuk berpakaian yang super longgar dan jilbab yang super lebar ini. Apalah lagi bagi sebagian kami yang rumahnya di tengah-tengah sawah, berjilbab besar plus berkaus kaki di tengah sawah di bawah terik matahari sambil menuai padi tentulah pemandangan yang mengundang cemo’oh untuk kami.

Kemudian, kalian telah diajarkan tentang etika pergaulan dengan lawan jenis oleh para orang tua dan asatidz kalian sedari kecil, sementara kami? Aduhai, ketika kami baru saja mengetahui bahwasanya pacaran itu sesekali tidaklah ada dalam agama islam nan mulia maka jatuh bangun kami agar bisa putus dari pacar-apacar kami. Kalian sangkakan mudah sajakah bagi kami untuk putus dengan mereka setelah sekian tahun berpacaran tanpa halangan? Sungguh ada sebagian dari kami yang begini, bahkan ada pula sebagian dari orangtua kami yang akan merasa malu jika kami tidak atau belum juga mempunyai pacar!

Ooo, janganlah kalian tanya lagi betapa susahnya kami dalam mengamalkan sunnah dan memerangi bid’ah di kampung-kampung kami, di dusun-dusun kami, berdarah-darah sudah, benar-benar berdarah!

Mungkin karena sebab inilah akhirnya kami menjelma menjadi ikhwan atau akhowat yang agak ‘keras’. Sayang rasanya jika beratnya perjuangan dan banyaknya pengorbanan akan membuat kami bermudah-mudah saja dalam perkara agama. Kami merasakan pahit dan getirnya perjuangan itu sehingga kami tidak ingin jika sekarang Allah telah agak mudahkan urusan-urusan kami maka serta merta kami juga akan menurunkan kadar semangat kami. Tidak, insya Allah tidak, semoga kalianpun tidak, insya Allah.

Aduhai, janganlah kalian marah jika kami berkomentar, “Jikalah di pondok-pondok atau di rumah-rumah yang telah bermanhaj salaf saja telah tidak ada lagi yang ‘shalih’, manalah lagi dengan orang-orang kebanyakan yang ada di pasar-pasar, di terminal-terminal dan ditempat-tempat jahiliyyah lainnya”, bukankah begitu logikanya wahai kawan?

Kadang kami tercenung jika mendapati orang-orang ‘alim seperti kalian tapi bermudah-mudah saja dalam perkara yang kalian anggap sepele, namun sungguh telah menjadi perkara besar bagi kami-kami yang pernah terjerumus di dalamnya. Ah, memang makanan singa tentu tak sama dengan makanan kelinci, namun bagaimanakah cara kami hendak menyampaikan hal ini?

Kadang, kalian yang dahulu mengajarkan kami tentang etika bergaul dengan lawan jenis sehingga dengan berat hati, sekali lagi dengan berat hati kami tinggalkan pacar dan tunangan kami. Kami menjadi sangat hati-hati karena ilmu yang kalian tularkan kepada kami, insya Allah. Namun, sungguh sedih hati kami ketika kami dapati kalian di dunia maya (bahkan benar-benar di dunia nyata) sangatlah jauh panggang dari api. Ada yang di dunia nyata sangat menjaga diri namun berbanding terbalik dengan yang kami dapati di dunia maya, yaitu ketika kami mengintip dinding-dinding fesbuk kalian.

Hahay, kami melakukan hal itu bukan untuk mencari-cari ‘aib kalian akan tetapi karena kami tengah merindu hati kepada kalian, nomor hape kalian tak ada pada kami sehingga kami mencoba untuk mencari kalian di dunia maya. Namun apa yang kami temui, kalian berkomen-komenan dengan para laki-laki/perempuan itu, yang faham agama atau tidak karena bagi kami tidaklah berkurang kelaki-lakian atau kewanitaannya karena itu. Kalian berbahasa dengan bahasa-bahasa yang setahu kami tak ada dalam kamus orang ‘alim seperti kalian.

Ah, sungguh kami tidak hendak menghakimi kalian karena sekali lagi makanan singa tentu tak sama dengan makanan kelinci, tak ada fatwa haram sejauh yang kami ketahui tentang hal ini namun bukankah kehati-hatian telah menjadi asas dalam agama kita ini? Dan bukankah label ‘penuntut ilmu’ atau ‘orang berilmu’ telah ada di dahi-dahi kalian? Suka tak suka dan rela tak rela kalian telah secara tidak langsung dilabeli begitu oleh orang-orang seperti kami.

Sesekali tidaklah masalah bagi kami jika kalian memang add/konfirm ajnaby/ajnabiyyah di fesbuk-fesbuk kalian karena memang di pundak-pundak kalian ada amanah untuk menyampaikan stock ilmu yang kalian miliki, tidak masalah bagi kami jika kalian menjadikan facebook sebagai salah satu ladang dakwah kalian, namun kami benar-benar sedih jikalah hanya karena sebab ini harga diri-diri kalian sebagai seorang ‘alim tercoreng sebab ulah kalian sendiri. Tidak sadarkah kalian jika ulah kalian ini bisa saja berakibat buruk terhadap manhaj kita, terhadap saudara-saudari kita yang tengah berpayah menjadi salafy/salafiyyah sejati? Sungguh, dunia maya ini telah diramaikan oleh berbagai kalangan, tidak hanya oleh kalangan orang-orang ‘alim seperti kalian, akan tetapi juga oleh kalangan orang-orang yang sangat benci akan manhaj ini, yaitu kalangan ahlul bid’ah, kalangan ahlul maksiat, dan sejenisnya bahkan jumlah mereka lebih banyak daripada kalangan nan pertama.

Pun pula, dari kalian jua kami tahu kalau musik itu haram, memajang foto itu haram (kecuali dalam beberapa kondisi darurat), sejauh yang kami ketahui di dunia maya memang tak ada fatwa haram bagi kami dan kalian untuk memajang foto dalam batas-batas tertentu atau dengan syarat-syarat tertentu. Namun sayang, telah kami dapati pula foto pengantin kalian disana, kalian berhias, kalian berpose yang tidak pantas untuk ukuran orang-orang ‘alim seperti kalian. Jikalah foto-foto itu ditag oleh teman-teman kalian maka tak bisakah kalian bersegera untuk menghapusnya?

Satu lagi, bukankan dulu kalian yang membacakan hadist ini kepada kami:

حَدَّثَنَا عَلِيٌّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ قِيلَ لِأُسَامَةَ لَوْ أَتَيْتَ فُلَانًا فَكَلَّمْتَهُ قَالَ إِنَّكُمْ لَتُرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ إِنِّي أُكَلِّمُهُ فِي السِّرِّ دُونَ أَنْ أَفْتَحَ بَابًا لَا أَكُونُ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ وَلَا أَقُولُ لِرَجُلٍ أَنْ كَانَ عَلَيَّ أَمِيرًا إِنَّهُ خَيْرُ النَّاسِ بَعْدَ شَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا وَمَا سَمِعْتَهُ يَقُولُ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلَانُ مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنْ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ رَوَاهُ غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ

Ali menuturkan kepada kami, Sufyan menuturkan kepada kami dari al-A’masy dari Abu Wa’il dia berkata; Ada orang yang berkata kepada Usamah, “Seandainya saja engkau mau mendatangi si fulan dan berbicara menasihatinya.” Maka dia menjawab, “Apakah menurut kalian aku tidak berbicara dengannya melainkan aku harus menceritakannya kepada kalian. Aku sudah menasihatinya secara rahasia. Aku tidak ingin membuka pintu yang menjadikan aku sebagai orang pertama yang membuka pintu fitnah itu -menasihati penguasa dengan terang-terangan-. Aku pun tidak akan mengatakan kepada seseorang sebagai orang yang terbaik -walaupun dia adalah pemimpinku- setelah aku mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Mereka bertanya, “Apa yang kamu dengar dari beliau itu?”. Dia menjawab; Aku mendengar beliau bersabda, “Akan didatangkan seorang lelaki pada hari kiamat kemudian dia dilemparkan ke dalam neraka dan terburailah isi perutnya di neraka sebagaimana seekor keledai yang berputar mengelilingi penggilingan. Maka berkumpullah para penduduk neraka di sekitarnya. Mereka bertanya, “Wahai fulan, apa yang terjadi padamu, bukankah dahulu kamu memerintahkan yang ma’ruf kepada kami dan melarang kami dari kemungkaran?”. Lelaki itu menjawab, “Dahulu aku memerintahkan kalian mengerjakan yang ma’ruf sedangkan aku tidak melakukannya. Dan aku melarang kalian dari kemungkaran namun aku justru melakukannya.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Ghundar dari Syu’bah dari al-A’masy (HR. Bukhari [3027] , disebutkan pula oleh Bukhari dalam Kitab al-Fitan [6569] as-Syamilah).

Aduhai, kemanakah ilmu kalian ketika ‘mondok’ itu akan kalian buang? Bagaimanakah hujjah kalian di hadapan Allah kelak tentang ilmu yang ada pada kalian? Bersyukurlah kalian karena kalian telah diberi kesempatan dan keutamaan oleh Allah untuk menuntut ilmu syar’i secara terperinci di madrasah-madrasah kenabian karena tidak setiap orang dan sembarang orang yang diberi kesempatan untuk itu, dan inipun kami catat dari lisan-lisan kalian jua.

Tidakkah kalian tahu pula betapa berat perjuangan kami untuk menyekolahkan kerabat-kerabat kami, anak-anak kami, dan adik-adik kami di sebuah pesantren salaf? Kami kuatkan hati-hati kami, kami ‘keraskan kepala-kepala’ kami, kami putar otak dan kami cari ‘akal agar kerabat-kerabat kami, anak-anak kami serta adik-adik kami tersebut bisa menjadi orang-orang berilmu seperti kalian. Jadi janganlah kalian begitu,sekali lagi janganlah kalian begitu.

Aduhai, ma’afkan lisan-lisan kami yang lancang ini. Sungguh, tak ada maksud untuk menghakimi dan menghujat kalian di hati dan fikiran kami karena meski bagaimanapun kalianlah wasilah hidayah Allah untuk kami. Kami juga masih belajar layaknya kalian yang telah terpelajar. Kami hanya tengah berusaha untuk mengamalkan ayat:

(3) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (2) خُسْرٍ لَفِي الْإِنْسَانَ إِنَّ (1) وَالْعَصْرِ

”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).

Kami sungguh sangat faham bahwasanya godaan yang menghampiri kalian tentu akan jauh lebih besar daripada godaan yang menghampiri kami, fitnah yang melanda kalian tentu pula akan jauh lebih dahsyat daripada fitnah yang melanda kami, terang saja begitu karena level kalian dalam hal ilmu dan amal tentu lebih tinggi dibandingkan kami-kami para pemula ini. Akan tetapi, jikalah kalian sempat tergoda ataupun terfitnah terhadap suatu perkara (terutama lawan jenis) maka tutupilah ia semampu kalian, janganlah sesekali kalian kabarkan kepada kami melalui dinding-dinding fesbuk kalian karena sejatinya kalian adalah para calon ustadz, bahkan para calon ulama masa depan, sehingga sangatlah tidak pantas rasanya jika adab dan akhlak kalian tidak ada bedanya dengan manusia-manusia kebanyakan. Sungguh, sungguh kami menyampaikan hal ini karena begitu besarnya pengharapan kami kepada kalian agar sekian tahun kedepan kalian pula dapat membimbing kami beserta anak cucu kami di atas manhaj yang haq ini, insya Allah. Aamiin.

Selanjutnya, kami pula faham jika dalam keseharian kalian selama sekian tahun kalian selalu berkutat dengan pelajaran yang sama, dengan gaya hidup yang sama sehingga mungkin saja kadangkala rasa jenuh itu akan menghampiri kalian, yang pada akhirnya rasa jenuh ini dapat pula berujung pada rasa ‘bebas merdeka’ jika sekali masa kalian mendapatkan masa libur di rumah-rumah kalian. Namun, ingatlah oleh kalian bahwa kalian adalah manusia-manusia pilihan yang dipilih Allah untuk mempelajari dien ini secara rinci agar kemudian kalian dapat pula menyampaikannya kepada umat, dan sungguh surga dan segala kenikmatan di dalamnya telah menanti kalian sebagai bayaran atas apa-apa yang akan, sedang dan tengah kalian pelajari dan kalian sampaikan itu, insya Allah.

Semoga Allah jagakan kami, kalian dan kaum muslimin semuanya atas dasar ilmu di atas manhaj yang mulia ini. Semoga Allah jagakan niat dan amal kita baik ketika kita tengah berhadapan dengan para mahklukNya ataupun ketika kita sedang berkesendirian saja, aamiin.

***
Bumi Allah,
Goresan Kami

Ananda Mokodongan
***
http://goresankami.blogspot.com/2011/10/teguran-untuk-kalian-yang-menjadi.html

Satu kata saja: ‘afwan’.

Tidak ada komentar: