Kamis, 29 Desember 2011

MENYEJUKKAN SUAMI YANG PEMARAH













































Wahai Putriku…

Kami telah menulis dan mengajak kepada perbaikan moral, menghapus kejahatan dan mengekang hawa nafsu, sampai pena tumpul, dan mulut letih, dan kami tidak mengahasilkan apa-apa. Kemungkaran tidak dapat kami berantas, bahkan semakin bertambah, kerusakan telah mewabah, para wanita keluar dengan pakaian merangsang, terbuka bagian lengan, betis dan lehernya.           Kami belum menemukan cara untuk memperbaiki, kami belum tahu jalannya. Sesungguhnya jalan kebaikan itu ada di depanmu, putriku! Kuncinya berada di tanganmu.          Benar bahwa lelakilah yang memulai langkah pertama dalam lorong dosa, tetapi bila engkau tidak setuju, laki-laki itu tidak akan berani, dan andaikata bukan lantaran lemah gemulaimu, laki-laki tidak akan bertambah parah. Engkaulah yang membuka pintu, kau katakan kepada si pencuri itu : silakan masuk … ketika ia telah mencuri, engkau berteriak : maling …! Tolong … tolong… saya kemalingan.          Demi Allah … dalam khayalan seorang pemuda tak melihat gadis kecuali gadis itu telah ia telanjangi pakaiannya.          Demi Allah … begitulah, jangan engkau percaya apa yang dikatakan laki-laki, bahwa ia tidak akan melihat gadis kecuali akhlak dan budi bahasanya. Ia akan berbicara kepadamu sebagai seorang sahabat.          Demi Allah … ia telah bohong! Senyuman yang diberikan pemuda kepadamu, kehalusan budi bahasa dan perhatian, semua itu tidak lain hanyalah merupakan perangkap rayuan ! setelah itu apa yang terjadi? Apa, wahai puteriku? Coba kau pikirkan!          Kalian berdua sesaat berada dalam kenikmatan, kemudian engkau ditinggalkan, dan engkau selamanya tetap akan merasakan penderitaan akibat kenikmatan itu. Pemuda tersebut akan mencari mangsa lain untuk diterkam kehormatannya, dan engkaulah yang menanggung beban kehamilan dalam perutmu. Jiwamu menangis, keningmu tercoreng, selama hidupmu engkau akan tetap berkubang dalam kehinaan dan keaiban, masyarakat tidak akan mengampunimu selamanya.          Bila engkau bertemu dengan pemuda, kau palingkan muka, dan menghindarinya. Apabila pengganggumu berbuat lancang lewat perkataan atau tangan yang  usil, kau lepaskan sepatu dari kakimu lalu kau lemparkan ke kepalanya, bila semua ini engkau lakukan, maka semua orang di jalan akan membelamu. Setelah itu anak-anak nakal itu takkan mengganggu gadis-gadis lagi. Apabila anak laki-laki itu menginginkan kebaikan maka ia akan mendatangi orang tuamu untuk melamar.          Cita-cita wanita tertinggi adalah perkawinan. Wanita, bagaimanapun juga status sosial,kekayaan, popularitas, dan prestasinya, sesuatu yang sangat didamba-dambakannya adalah menjadi isteri yang baik serta ibu rumah tangga yang terhormat.          Tak ada seorangpun yang mau menikahi pelacur, sekalipun ia lelaki hidung belang, apabila akan menikah tidak akan memilih wanita jalang (nakal), akan tetapi ia akan memilih wanita yang baik karena ia tidak rela bila ibu rumah tangga dan ibu putera-puterinya adalah seorang wanita amoral.          Sesungguhnya krisis perkawinan terjadi disebabkan kalian kaum wanita! Krisis perkawinan terjadi disebabkan perbuatan wanita-wanita asusila, sehingga para pemuda tidak membutuhkan isteri, akibatnya banyak para gadis berusia cukup untuk nikah tidak mendapatkan suami. Mengapa wanita-wanita yang baik belum juga sadar? Mengapa kalian tidak berusaha memberantas malapetaka ini? Kalianlah yang lebih patut dan lebih mampu daripada kaum laki-laki  untuk melakukan usaha itu karena kalian telah mengerti bahasa wanita dan cara menyadarkan mereka, dan oleh karena yang menjadi korban kerusakan ini adalah kalian, para wanita mulia dan beragama.          Maka hendaklah kalian mengajak mereka agar bertakwa kepada Allah, bila mereka tidak mau bertaqwa, peringatkanlah mereka akan akibat yang buruk dari perzinaan seperti terjangkitnya suatu penyakit. Bila mereka masih membangkang maka beritahukan akan kenyataan yang ada, katakan kepada mereka : kalian adalah gadis-gadis remaja putri yang cantik, oleh karena itu banyak pemuda mendatangi kalian dan berebut di sekitar kalian, akan tetapi apakah keremajaan dan kecantikan itu akan kekal? Semua makhluk di dunia ini tidak ada yang kekal. Bagaimana kelanjutannya, bila kalian sudah menjadi nenek dengan punggung bungkuk dan wajah keriput? Saat itu, siapakah yang akan memperhatikan? Siapa yang akan simpati?          Tahukah kalian, siapakah yang memperhatikan, menghormati dan mencintai seorang nenek? Mereka adalah anak dan para cucunya, saat itulah nenek tersebut menjadi seorang ratu ditengah rakyatnya. Duduk di atas singgasana dengan memakai mahkota, tetapi bagaimana dengan nenek yang lain, yang masih belum bersuami itu?    Apakah kelezatan itu sebanding dengan penderitaan di atas? Apakah akibat itu akan kita tukar dengan kelezatan sementara?          Dan berilah nasehat-nasehat yang serupa, saya yakin kalian tidak perlu petunjuk orang lain serta tidak kehabisan cara untuk menasehati saudari-saudari yang sesat dan patut di dikasihani. Bila kalian tidak dapat mengatasi mereka, berusahalah untuk menjaga wanita-wanita baik, gadis-gadis yang sedang tumbuh, agar mereka tidak menempuh jalan yang salah.          Saya tidak minta kalian untuk mengubah secara drastis mengembalikan wanita kini menjadi kepribadian muslimah yang benar, akan tetapi kembalilah ke jalan yang benar setapak demi setapak sebagaimana kalian menerima kerusakan sedikit demi sedikit.          Perbaikan tersebut tidak dapat diatasi hanya dalam waktu sehari atau dalam waktu singkat, malainkan dengan kembali ke jalan yang benar dari jalan yang semula kita lewati menuju kejelekan walaupun jalan itu sekarang telah jauh, tidak menjadi soal, orang yang tidak mau menempuh jalan panjang yang hanya satu-satunya ini, tidak akan pernah sampai. Kita mulai dengan memberantas pergaulan bebas, (kalaupun) seorang wanita membuka wajahnya tidak berarti ia boleh bergaul dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Istri tanpa tutup  wajah bukan berarti ia boleh menyambut kawan suami dirumahnya, atau menyalaminya bila bertemu di kereta, bertemu di jalan, atau seorang gadis menjabat tangan kawan pria di sekolah, berbincang-bincang, berjalan seiring, belajar bersama untuk ujian, dia lupa bahwa Allah menjadikannya sebagai wanita dan kawannya sebagai pria, satu dengan lain dapat saling terangsang. Baik wanita, pria, atau seluruh penduduk dunia tidak akan mampu mengubah ciptaan Allah, menyamakan dua jenis atau menghapus rangsangan seks dari dalam jiwa mereka.          Mereka yang menggembor-gemborkan emansipasi dan pergaulan bebas atas kemajuan adalah pembohong dilihat dari dua sebab :           Pertama : karena itu semua mereka lakukan untuk kepuasan pada diri mereka, memberikan kenikmatan-kenikmatan melihat angota badan yang terbuka dan kenikmatan-kenikmatan lain yang mereka bayangkan. Akan tetapi mereka tidak berani berterus terang, oleh karena itu mereka bertopeng dengan kalimat yang mengagumkan yang sama sekali tidak ada artinya, kemajuan, modernisasi, kehidupan kampus, dan ungkapan-ungkapan yang lain yang kosong tanpa makna bagaikan gendang.           Kedua : mereka bohong oleh karena mereka bermakmum pada Eropa, menjadikan eropa bagaikan kiblat, dan mereka tidak dapat memahami kebenaran kecuali apa-apa yang datang dari sana, dari Paris, London, Berlin dan New york. Sekalipun berupa dansa, porno, pergaulan bebas di sekolah, buka aurat di lapangan dan telanjang di pantai (atau di kolam renang). Kebatilan menurut mereka adalah segala sesuatu yang datangnya dari timur, sekolah-sekolah Islam dan masjid-masjid, walapun berupa kehormatan, kemuliaan,, kesucian dan petunjuk. Kata mereka, pergaulan bebas itu dapat mengurangi nafsu birahi, mendidik watak dan dapat menekan libido seksual, untuk menjawab ini saya limpahkan pada mereka yang telah mencoba pergaulan bebas di sekolah-sekolah, seperti Rusia yang tidak beragama, tidak pernah mendengar para ulama dan pendeta. Bukankah mereka telah meninggalkan percobaan ini setelah melihat bahwa hal ini amat merusak?          Saya tidak berbicara dengan para pemuda, saya tidak ingin mereka mendengar, saya tahu, mungkin mereka menyanggah dan mencemoohkan saya karena saya telah menghalangi mereka untuk memperoleh kenikmatan dan kelezatan, akan tetapi saya berbicara kepada kalian, putri-putriku, wahai putriku yang beriman dan beragama! Putriku yang terhormat dan terpelihara ketahuilah bahwa yang menjadi korban semua ini bukan orang lain kecuali engkau.          Oleh karena itu jangan berikan diri kalian sebagai korban iblis, jangan dengarkan ucapan mereka yang merayumu dengan pergaulan yang alasannya, hak asasi, modernisme, emansipasi dan kehidupan kampus. Sungguh kebanyakan orang yang terkutuk ini tidak beristri dan tidak memiliki anak, mereka sama sekali tidak peduli dengan kalian selain  untuk pemuas kelezatan sementara. Sedangkan saya adalah seorang ayah dari empat gadis. Bila saya membela kalian, berarti saya membela putri-putriku sendiri. Saya ingin kalian bahagia seperti yang saya inginkan untuk putri-putriku.          Sesungguhnya tidak ada yang mereka inginkan salain memperkosa kehormatan wanita, kemuliaan yang tercela tidak akan bisa kembali, begitu juga martabat yang hilang tidak akan dapat diketemukan kembali.          Bila anak putri jatuh, tak seorangpun di antara mereka mau menyingsingkan lengan untuk membangunkannya dari lembah kehinaan, yang engkau dapati mereka hanya memperebutkan kecantikan si gadis, apabila telah berubah dan hilang, mereka pun lalu pergi menelantarkan, persisnya seperti anjing meninggalkan bangkai yang tidak tersisa daging sedikitpun.          Inilah nasehatku padamu, putriku. Inilah kebenaran. Selain ini jangan percaya. Sadarlah bahwa di tanganmulah, bukan di tangan kami kaum laki-laki, kunci pintu perbaikan. Bila mau perbaikilah diri kalian, dengan demikian umat pun akan menjadi baik.(wallahul musta’an). Disarikan dari   buku : Ya ibnati  oleh Ali Thanthawihttp://ananda-mokodongan.blogspot.com/


http://jilbab.or.id/archives/176-wahai-putriku/

Rabu, 14 Desember 2011

Tegar Menghadapi Fitnah

Sesungguhnya kita hidup di jaman yang penuh dengan fitnah. Fitnah berupa kekafiran, kemunafikan, ataupun kebid’ahan dan kemaksiatan. Satu fitnah belum selesai tiba-tiba datang fitnah yang baru. Sementara fitnah itu turun bagaikan derasnya curahan air hujan yang membasahi sudut-sudut pemukiman. Terkadang ia datang secara bergelombang bagaikan ombak lautan. Sehingga membuat kaum muslimin bagaikan sampah yang diseret oleh aliran air, tidak jelas arahnya. Terombang-ambing ke sana kemari. Ketika fitnah ini muncul di permukaan, hanya diketahui oleh segelintir manusia yaitu ahli ilmu, sedangkan kebanyakan manusia baru menyadarinya setelah fitnah itu berkecamuk dan membara di mana-mana.

Fitnah-fitnah itu muncul dari dua sumber utama yaitu dari godaan hawa nafsu dan kerancuan pemikiran alias syubhat. Fitnah yang pertama menyerang pada kekuatan hati manusia untuk konsisten di atas jalan yang lurus. Sedangkan fitnah yang kedua menyerang pada kekuatan hati manusia untuk terus mencari kebenaran yang sesungguhnya. Oleh sebab itulah, setiap muslim diajarkan untuk senantiasa berdoa kepada Allah pada setiap roka’at sholatnya, “Ya Allah, tunjukilah kepada kami jalan yang lurus.” Sedangkan hakikat jalan yang lurus itu adalah mengetahui kebenaran dan melaksanakannya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39). Dengan kata lain, kunci keberhasilan untuk mengatasi fitnah-fitnah yang ada adalah dengan mengendalikan dua buah kekuatan, yaitu kekuatan ilmiyah nazhariyah (ilmu dan pemahaman) dan kekuatan amaliyah iradiyah (amal dan tekad). Semakin sempurna kemampuan seseorang dalam menggunakan kedua kekuatan ini maka semakin sempurna pula kebahagiaan hidupnya (lihat al-Fawa’id, hal. 20). Dua hal ini tergabung di dalam sabar dan keyakinan, terjalin di dalam iman dan keistiqomahan.
Berpegangteguhlah dengan agamamu!
Anas bin Malik radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan tiba suatu masa ketika itu orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti halnya orang yang sedang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi [2260] di dalam Kitab al-Fitan, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [957]). Maka di saat-saat seperti sekarang ini ketika banyak orang yang tenggelam dalam pemuasan hawa nafsu tanpa mempedulikan rambu-rambu agama dan sebagian lagi terseret oleh arus pemikiran yang menyimpang dari jalan yang lurus, maka tidak selayaknya kaum muslimin ikut-ikutan hanyut di dalamnya.
Di antara jalan keluar dari berbagai macam fitnah yang ada ini adalah :
  1. Senantiasa bertakwa kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan berikan baginya jalan keluar.” (QS. at-Thalaq : 2). Allah ta’ala menjanjikan, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan berikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. at-Thalaq : 4)
  2. Bertawakal kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupinya.” (QS. at-Thalaq : 3).
  3. Bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran. Allah ta’ala menjanjikan, “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di dalam mencari keridhoan Kami niscaya Kami akan tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut : 69).
  4. Membersihkan diri dari segala bentuk kesyirikan dan kezaliman. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. al-An’aam : 82)
  5. Patuh kepada syari’at Rasul dan tidak melenceng darinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi perintahnya, karena mereka akan tertimpa fitnah (penyimpangan) atau tertimpa azab yang sangat pedih.” (QS. an-Nuur : 63)
  6. Bertanya kepada ahli ilmu untuk mengatasi masalah umat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl : 43)
  7. Kembali kepada bimbingan al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang sesuatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik bagi kalian dan lebih bagus hasilnya.” (QS. an-Nisaa’ : 59)
  8. Senantiasa mengingat Allah dan mensyukuri nikmat-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku pun akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku jangan sekali-kali kalian ingkar.” (QS. al-Baqarah : 152)
  9. Menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaknya ada sekelompok orang di antara kalian yang mengajak kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. ali Imran : 104)
  10. Bertaubat dari segala kesalahan. Allah berfirman (yang artinya), “Bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman, supaya kalian menjadi orang-orang yang beruntung.” (QS. an-Nuur : 31)
  11. Mengikuti pemahaman para sahabat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka apabila mereka beriman sebagaimana apa yang kalian imani (sahabat) sungguh mereka telah mendapatkan hidayah.” (QS. al-Baqarah : 137)
  12. Senantiasa berdoa kepada Allah agar dibimbing menuju keridhoan-Nya. Di antara doa yang diajarkan kepada kita adalah ‘Rabbanaa laa tuzigh qulubana ba’da idz hadaitana, wa hablana min ladunka rahmah, innaka antal wahhab (Ya Allah, janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau memberikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami kasih sayang dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau lah Dzat Yang Maha Pemberi karunia) (lihat QS. Ali Imran : 8)
  13. Mendasari ucapan dan tindakan dengan ilmu. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu pasti akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Isro’ : 36)
  14. Berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan berita. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian orang fasik dengan membawa berita maka telitilah terlebih dahulu kebenarannya…” (QS. al-Hujurat : 6)
Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat, dan semoga Allah berkenan melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk istiqomah di atas jalan-Nya hingga ajal tiba. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Did you like this? Share it:

Jangan Putus Asa!

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dan memberikan kesempatan yang lebar kepada mereka untuk bertaubat dan taat kepada-Nya. Salawat dan salam semoga tercurah kepada manusia teladan yang memberikan motivasi kepada umatnya untuk tegar dalam menghadapi kehidupan. Amma ba’du.
Saudaraku, perjalanan waktu tak terasa telah melindas lembaran sejarah kehidupan kita. Pahit getirnya hidup mewarnai lembaran-lembaran itu sehingga terkadang membuat pemiliknya diselimuti sikap pesimis dan ragu-ragu untuk melanjutkan langkah perjuangannya untuk menggapai kebahagiaan. Padahal kita telah tahu, sesungguhnya perjalanan waktu inilah yang akan membuktikan siapa di antara manusia yang beruntung dan siapa yang celaka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang dibebaskan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sesungguhnya dia telah beruntung, dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan kesenangan yang menipu.” (QS. Ali Imran: 185)

Oleh sebab itu, menunda-nunda amal merupakan sebab utama kebinasaan. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, “Jadilah kalian anak-anak akherat, dan jangan menjadi anak-anak dunia. Sesungguhnya hari ini adalah amal dan belum ada hisab, sedangkan besok yang ada adalah hisab dan tidak ada lagi waktu untuk beramal.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dalam Kitab ar-Riqaq, lihat Shahih Bukhari cet. Maktabah al-Iman hal. 1307). Ini artinya, selama udara masih bisa kita hirup dan akal masih berfungsi, maka tak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Umur yang senja bukan penghalang untuk menggapai kemuliaan dan derajat yang tinggi di sisi Allah ta’ala.
Tidakkah kita ingat, cuplikan-cuplikan kisah menakjubkan para ulama salaf yang melukiskan ketinggian semangat mereka untuk mengejar keutamaan ini? Nu’aim bin Hamad menceritakan: Aku mendengar Abdullah bin Mubarak radhiyallahu’anhu -ketika itu sebagian orang telah mencelanya karena terlalu sering mencari hadits sehingga mereka pun berkata kepadanya, “Sampai kapan kamu mau terus mendengar hadits?”- maka beliau menjawab, “Sampai mati!” Abdullah bin Muhammad al-Baghawi berkata: Aku mendengar Ahmad bin Hanbal radhiyallahu’anhu berkata, “Sesungguhnya aku akan menuntut ilmu sampai masuk kubur.” al-Hasan pernah ditanya perihal seorang lelaki yang sudah berusia delapan puluh tahun, apakah dia masih layak untuk menuntut ilmu. Maka beliau menjawab, “Apabila dia masih layak hidup -maka masih layak-.” (atsar-atsar ini dikutip dari al-’Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 77). Kalau kakek-kakek berumur 80 tahun saja masih pantas menjadi thalibul ilmi (penuntut ilmu), lalu apa alasan pemuda-pemuda yang gagah perkasa untuk bermalas-malasan menimba ilmu agama?!
Saudaraku, lupakah dirimu akan kata-kata emas yang disampaikan oleh Amirul mukminin fil hadits Muhammad bin Isma’il al-Bukhari yang terkenal itu? al-’Ilmu qablal qauli wa ‘amali, ilmu sebelum berkata dan berbuat. Lalu apa yang akan kita katakan dan kita perbuat di sisa perjalanan hidup kita yang singkat ini kalau kita tidak membekali dan mempersenjatai diri dengan ilmu? Bukankah Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah keluar suatu ucapan melainkan di sisinya ada malaikat yang dekat dan senantiasa mencatat.” (QS. Qaaf: ). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar akan mengutarakan suatu ucapan yang diridhai Allah sementara dia tidak mempedulikannya namun mengangkat kedudukannya beberapa tingkatan. Dan sesungguhnya ada pula seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang membuat murka Allah sedangkan dia tidak mempedulikannya sehingga hal itu membuatnya terjerumus ke dalam Jahannam.” (HR. Bukhari dalam Kitab ar-Riqaq, lihat Shahih Bukhari hal. 1316)
Kesempatan hidup di dunia merupakan medan perjuangan untuk menyambut datangnya hari pembalasan. Menyia-nyiakan waktu di dunia akan menyebabkan penyesalan di akherat. Ingatlah kisah mengerikan yang diceritakan oleh Nabimu shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Pada hari kiamat nanti orang kafir akan didatangkan lalu ditanyakan kepadanya, “Bagaimanakah menurutmu, seandainya kamu memiliki emas sepenuh bumi, maukah kamu menebus siksa dengannya?” maka dia menjawab, “Mau.” Maka dikatakan kepadanya, “Dahulu kamu telah diminta untuk melakukan sesuatu yang lebih mudah daripada itu.” (HR. Bukhari dalam Kitab ar-Riqaq, lihat Shahih Bukhari hal. 1325).
Di saat itulah -di hari kiamat- harta kekayaan tidak lagi bernilai, tumpukan-tumpukan uang, tabungan di bank yang mencapai milyaran, bodyguard dan pengawal yang perkasa pun tak sanggup untuk mencegah malaikat dari menunaikan titah Rabbnya untuk melemparkan makhluk-makhluk yang sombong ke dalam api neraka… Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri darinya maka tidak akan dibukakan untuk mereka pintu-pintu langit dan tidak akan masuk ke dalam surga sampai unta bisa masuk ke dalam lubang jarum. Demikian itulah Kami akan membalas orang-orang yang berdosa/kafir itu.” (QS. al-A’raaf: 40)
Pada saat itulah, rasa haus penduduk neraka tidak lagi bisa terobati. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka penduduk neraka pun memanggil penduduk surga: ‘Berikanlah kepada kami air minum atau -makanan- apa saja yang diberikan Allah kepada kalian.’ Maka mereka menjawab, ‘Sesungguhnya Allah mengharamkan keduanya bagi orang-orang kafir’, yaitu orang-orang yang telah menjadikan agama mereka sebagai bahan senda gurau dan permainan dan tertipu oleh kehidupan dunia. Maka pada hari ini Kami lupakan mereka, sebagaimana dulu -ketika di dunia- mereka telah melupakan hari pertemuan mereka ini dan juga karena dahulu mereka senantiasa menentang ayat-ayat Kami.” (QS. al-A’raaf: 50-51). Saat itulah Allah akan berkata kepada orang-orang yang tidak meyakini perjumpaan dengan Rabbnya, “Maka pada hari ini Aku melupakanmu, sebagaimana dahulu kamu telah melupakan-Ku.” (HR. Muslim dalam Kitab az-Zuhd, lihat Tafsir Ibnu Katsir [3/305])
Saudaraku, hari ini kau memang belum bisa bertemu dengan-Nya, sehingga kau hanya bisa berharap untuk menjumpai-Nya kelak dalam suasana gembira. Namun ingatlah, bahwasanya orang yang akan bergembira di saat berjumpa dengan-Nya adalah orang yang tunduk dan patuh kepada perintah dan larangan-Nya. Orang-orang yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan, bukan hawa nafsu, pangkat, harta, ataupun ketenaran. Orang-orang yang menjadikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu-satunya panutan dan pemandu perjalanan. Orang-orang yang mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan menjalankan puasa karena dorongan iman dan ingin mendapatkan ganjaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan. Sebuah kegembiraan ketika berbuka/berhari raya, dan sebuah kegembiraan lagi ketika berjumpa dengan Rabbnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu -hari kiamat- akan memutih/berseri wajah-wajah dan menghitam/muram wajah-wajah yang lain.” (QS. Ali Imran: 106). Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Yaitu akan memutih wajah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah), dan akan menghitam wajah Ahlul Bid’ah wal Furqah (orang-orang yang menebar bid’ah dan perpecahan).” (dikutip dari Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 57)
Hari ini, harapan itu masih terbuka lebar di hadapanmu. Selama nyawa masih belum sampai ke tenggorokan. Sebelum datangnya hari penyesalan, ketika kematian mengalami kematian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan didatangkan kematian dalam bentuk seekor domba putih kehitam-hitaman. Lalu ada yang berseru, ‘Wahai penduduk surga’ maka mereka pun mendongakkan kepala seraya memandanginya. Lalu ditanyakan kepada mereka, ‘Apakah kalian mengenalinya?’. Maka mereka menjawab, ‘Iya. Ini adalah kematian.’ Dan mereka semua pun telah melihatnya. Lalu diserukan lagi, ‘Wahai penduduk neraka.’ maka mereka pun mendongakkan kepalanya seraya memandanginya. Lalu ditanyakan, ‘Apakah kalian mengenalinya?’. Mereka menjawab, ‘Iya. Ini adalah kematian’. Dan mereka semua pun telah ikut melihatnya. Kemudian domba (kematian) pun disembelih, dan dikatakan, ‘Wahai penduduk surga, kekallah. Tiada lagi kematian’, ‘Wahai penduduk neraka, kekallah. Tiada lagi kematian.’ Kemudian Nabi membaca ayat -yang artinya-, ‘Dan berikanlah peringatan kepada mereka akan hari penyesalan ketika keputusan itu sudah ditetapkan sementara mereka tenggelam dalam kelalaian.’ dan mereka memang berada dalam kelalaian; yaitu para pemuja dunia, ‘dan mereka pun tidak beriman’.” (HR. Bukhari dalam Kitab Tafsir al-Qur’an, lihat Shahih Bukhari, hal. 990)
Kalau engkau jujur ingin berjumpa Rabbmu, maka marilah kita laksanakan perintah-Nya (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, lakukanlah amal salih dan janganlah mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110). Inilah jalan yang akan membawa hamba-hamba Allah menuju kebahagiaan dan kesuksesan yang sejati; mengikuti Sunnah/ajaran Nabi dan memurnikan tauhid di dalam diri. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal salih bagi mereka itu surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Itulah keberuntungan yang sangat besar…” (QS. al-Buruj: 11).
Harapan masih terbuka lebar…, bekali diri dengan keyakinan, sabar, dan tawakal. Karena orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab adalah orang-orang yang bertawakal hanya kepada Rabb mereka, semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan mereka, amin yaa Rabbal ‘alamin.
Did you like this? Share it:

CINTA DITOLAK, DUKUN BERTINDAK

Sebagian pemuda yang dimabuk asmara akibat mengobral pandangan kepada perempuan-perempuan yang juga tidak punya rasa malu mungkin akrab dengan slogan ini, ‘Cinta ditolak, dukun bertindak’. Ada dua hal pokok yang perlu kita kritisi dalam slogan ini.

Pertama, cinta yang salah penerapan. Ketika orang berbicara cinta, maka yang terpikir di otak para remaja adalah pacaran, apel, nonton bareng, dan seabrek kegiatan mendekati zina lainnya. Yang kedua, ketika kepentingan hawa nafsu mereka tidak terpenuhi, maka otomatis mereka lari kepada para dukun yang notebene justru menceburkan mereka ke dalam dosa yang jauh lebih berat yaitu syirik dan kekafiran.
Ini tidak jauh dengan ungkapan, ‘Lepas dari gigitan singa, terjatuh ke mulut buaya’. Nah, tentu ini merupakan musibah dan bencana yang menghancurkan iman dan jati diri seorang insan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia berkenan mengampuni dosa lain di bawah tingkatan syirik bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’ : 116).
Perhatikanlah, inilah realita umat yang hari ini kita hadapi… Ketika aqidah dan akhlak generasi muda telah terkikis dan luntur dari lubuk hati mereka, maka secara otomatis syaitan dan bala tentaranyalah yang bekerja dan memegang kendali dalam tubuh dan akal pikiran mereka. Maka tidaklah mengherankan jika banyak remaja yang menggandrungi kisah-kisah fiksi yang menyajikan lika-liku dunia perdukunan dan sihir menyihir, bahkan ia menempati posisi best seller yang terjual laris dalam waktu yang singkat, laa haula wa laa quwwata illa billaah!
Sementara di sisi lain, kita saksikan kitab-kitab para ulama salaf masih menjadi barang langka yang menghiasi rak dan meja para pemuda dan generasi penerus perjuangan Islam di masa depan. Jangankan memiliki kitabnya, membaca tulisan arab gundul pun mereka tidak sanggup melakukannya… Sungguh memprihatinkan, sebuah umat yang telah diwarisi dengan al-Kitab dan as-Sunnah oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun justru lebih menggandrungi kitab-kitab ‘sihir’ yang memalingkan mereka dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketika dahulu para sahabat asyik menelaah dan menyimak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbincangan mereka sehari-hari -sampai-sampai mereka menangis-, namun pada hari ini kita saksikan obrolan kaum muda hanya dipenuhi dengan gelak tawa dan isak tangis palsu gara-gara menonton film favorit, pertandingan sepak bola yang sarat dengan suporter ala jahiliyah, dan artis idola atau ramalan bintang anda hari ini, fa inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun.
Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi dukun dan membenarkan apa yang dikatakannya maka sungguh dia telah kafir kepada wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. al-Bazzar dengan sanad jayid qawiy, disahihkan al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib [3044]). al-Qurthubi menjelaskan bahwa yang dimaksud wahyu yang diturunkan tersebut adalah al-Kitab dan as-Sunnah (Fath al-Majid, 268).
Dalam riwayat al-Bazzar yang bersumber dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu dengan lafaz, “Barangsiapa yang mendatangi paranormal, tukang sihir, atau dukun, lalu dia membenarkan perkataannya maka sungguh dia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Shahih Targhib wa Tarhib [3044]). Dalil ini menunjukkan bahwa dukun dan tukang sihir dihukumi kafir, karena mereka telah berani mengaku mengetahui ilmu gaib, padahal perbuatan itu merupakan kekafiran. Demikian juga orang yang membenarkan perbuatan mereka dan meyakini apa yang mereka ucapkan dan meridhai perbuatan tersebut maka hal itu juga termasuk kekafiran, demikian papar Syaikh Aburrahman bin Hasan (Fath al-Majid, hal. 268).
Tentu saja hal ini menunjukkan kepada kita bahwa praktek perdukunan dan paranormal -apa pun istilahnya- merupakan penyakit masyarakat yang sangat ganas dan mematikan. Gara-gara ulah mereka aqidah masyarakat menjadi rusak, tatanan agama menjadi tidak lagi dihiraukan, muncul permusuhan, pengambilan harta tanpa hak, dan pertumpahan darah di atas muka bumi. Lebih parah lagi jika orang-orang itu -dukun/paranormal- telah dilabeli dengan gelar kyai atau pakar pengobatan alternatif. Pada hakikatnya ini adalah penyesatan yang dipoles dengan kata-kata yang indah.
Did you like this? Share it:

Kau Tak Kenal Dirimu dan Tak Kenal Dirinya

Saudaraku, semoga Allah mengokohkan imanku dan imanmu… perjalanan hidup ini acapkali kita lalui dengan ‘ketidaksadaran’. Bukan linglung, pingsan, atau hilang ingatan. Akan tetapi karena kita tidak sadar tentang hakekat diri dan kedudukan kita serta kita tidak sadar betapa agung hak Rabb yang telah menciptakan kita atas diri kita. Berangkat dari ‘ketidaksadaran’ itulah muncul ‘penyakit ganas’ berikutnya yang bernama ketidaksabaran.
Tentang hakekat diri dan kedudukan kita, maka bacalah firman-Nya (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Kita adalah hamba yang harus menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apa saja. Adapun mengenai keagungan Rabb (Allah) yang telah menciptakan kita, maka bacalah firman-Nya (yang artinya), “Segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam.” (QS. al-Fatihah: 1). Allah lah sosok paling berjasa kepada kita dan yang paling layak untuk mendapatkan cinta.
Tatkala seorang hamba telah kehilangan dua buah ilmu ini -ilmu tentang hakekat dirinya dan ilmu tentang keagungan hak Rabbnya- maka pupuslah harapan untuk menggapai kebahagiaan yang sebenarnya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Seorang hamba akan sampai pada tujuannya -dengan meniti jalan yang lurus- adalah dengan merealisasikan kedua macam ma’rifat ini baik dalam bentuk ilmu maupun keadaan/sikap hidup, sedangkan keterputusannya -untuk bisa menggapai tujuan- adalah karena dia kehilangan keduanya. Inilah kandungan makna ucapan mereka -sebagian orang bijak-, ‘Barangsiapa yang mengenal -hakekat- dirinya niscaya akan mengenali -keagungan- Rabbnya’…” (al-Fawa’id, hal. 133)
Nah, sadarkah dirimu bahwa Allah menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya? Sadarkah dirimu bahwa hidup di dunia ini tiada artinya jika tidak digunakan untuk menghamba kepada-Nya? Sadarkah dirimu, betapa besar anugerah dan nikmat yang Allah curahkan kepada kita -yang semestinya kita syukuri dengan hati, lisan dan segenap anggota badan kita- di sepanjang perjalanan hidup yang kita lalui, di setiap jengkal tanah yang kita pijak dan setiap bangunan rumah yang kita huni. Aduhai, betapa seringnya kita tak sadar, terlena oleh suasana, melupakan hakekat diri kita dan melalaikan hak Rabb kita atas diri kita. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kalian bersyukur maka pasti akan Aku tambahkan nikmat kepada kalian, akan tetapi jika kalian kufur/ingkar maka sesungguhnya siksa-Ku sangatlah pedih.” (QS. Ibrahim: 7). Allah ta’ala berfirman pula (yang artinya), “Betapa sedikit hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS. Saba’: 13)
Saudaraku, untuk apakah kau pergunakan waktu yang diberikan Allah kepadamu? Waktu yang begitu berharga ini kerapkali kita sia-siakan. Jangankan berpikir untuk melipatgandakan pahala amalan, bahkan sekedar untuk beramal yang ringan pun kita sering berat dan menganggapnya sebagai beban atau bahkan siksaan! Padahal Rabb kita jalla fi ‘ulaah telah memberikan janji luar biasa bagi hamba yang patuh kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia akan mendapatkan keberuntungan yang sangat besar.” (QS. al-Ahzab: 71). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123)
Ketidaksadaran itulah yang membuahkan ketidaksabaran. Tidak sabar dalam menjalani ketaatan. Tidak sabar dalam menjauhi kemaksiatan. Dan tidak sabar dalam menghadapi perihnya musibah yang menimpa hati maupun badan. Oleh sebab itu tidak ada yang beruntung kecuali orang-orang yang sabar. Bukankah Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya semua orang merugi, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)
Bagi banyak orang ketaatan terkadang dirasakan memberatkan dan tidak menyenangkan. Yaitu tatkala seorang hamba tidak lagi menyadari bahwa kesulitan yang dihadapinya di saat berjuang menegakkan ketaatan adalah ujian untuk membuktikan sejauh mana kualitas iman pada dirinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Alif lam mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan, ‘Kami beriman’ lantas mereka pun tidak diuji?” (QS. al-Ankabut: 1-2). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga begitu saja sementara Allah belum mengetahui -menunjukkan- siapakah orang-orang yang bersungguh-sungguh di antara kalian, dan juga siapakah orang-orang yang bersabar.” (QS. Ali Imran: 142)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat dalam surat Ali Imran di atas, “Artinya, janganlah kalian mengira dan jangan pernah terbetik dalam benak kalian bahwa kalian akan masuk surga begitu saja tanpa menghadapi kesulitan dan menanggung berbagai hal yang tidak menyenangkan tatkala menapaki jalan Allah dan berjalan mencari keridhaan-Nya. Sesungguhnya surga itu adalah cita-cita tertinggi dan tujuan paling agung yang membuat orang-orang saling berlomba -dalam kebaikan-. Semakin besar cita-cita maka semakin besar pula sarana untuk meraihnya begitu pula upaya yang mengantarkan ke sana. Tidak mungkin sampai pada kenyamanan kecuali dengan meninggalkan sikap santai-santai. Tidak akan digapai kenikmatan -yang hakiki/surga- kecuali dengan meninggalkan (tidak memuja) kenikmatan -yang semu/dunia-. Hanya saja perkara-perkara yang tidak menyenangkan di dunia yang dialami seorang hamba di jalan Allah -tatkala nafsunya telah dia latih dan gembleng untuk menghadapinya serta dia sangat memahami akibat baik yang akan diperoleh sesudahnya- maka niscaya itu semua akan berubah menjadi karunia yang menggembirakan bagi orang-orang yang memiliki bashirah, mereka tidak peduli dengan itu semua. Itulah keutamaan dari Allah yang diberikan-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 150)
Sementara itu, kesabaran menerima cobaan dan kesungguhan dalam menjalani ketaatan hanya akan lahir dari keyakinan yang kokoh terhunjam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah, barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya.” (QS. at-Taghabun: 11). Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Dia adalah seorang hamba yang tertimpa musibah lalu dia mengetahui/meyakini bahwasanya musibah itu datang dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah.” (HR. Said bin Manshur, lihat al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 208).
Tatkala seorang hamba mampu menyempurnakan keyakinan di dalam jiwanya maka niscaya musibah yang menimpa akan berubah menjadi nikmat, dan cobaan yang dialami akan berubah menjadi anugerah (lihat al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 208). Ibnul Qayyim rahimahullah menukil penjelasan para ulama bahwa ciri orang yang telah memiliki keyakinan yang kokoh terhunjam itu adalah; [1] dia senantiasa menengok/ingat kepada Allah pada setiap kejadian yang dialaminya, [2] dia selalu kembali kepada-Nya pada setiap urusan, [3] dia senantiasa memohon pertolongan kepada-Nya dalam setiap keadaan, dan [4] dia senantiasa mengharapkan wajah-Nya dalam setiap gerakan maupun diam (lihat al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 208).
Itu artinya apabila seorang hamba ingin keluar dari ketidaksadaran ini, hendaknya dia betul-betul memahami kedua buah ilmu tersebut. Pertama; ilmu tentang hakekat dirinya beserta segala kekurangan, kelemahan dan keterbatasannya. Dan yang kedua; ilmu tentang hak dan keagungan Rabbnya beserta kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Kedua ilmu itulah yang akan mengokohkan akar keyakinan di dalam hatinya dan menegakkan pohon kesabaran di dalam hidupnya.
Did you like this? Share it:

Hukum memanggil 'Wahai Anakku' padahal bukan anaknya

Teks riwayat hadits
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Kitab al-Adab dalam Shahihnya,
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْغُبَرِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِى عُثْمَانَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا بُنَىَّ ».
Muhammad bin Ubaid al-Ghubari menuturkan kepada kami. Dia berkata: Abu ‘Awanah menuturkan kepada kami dari Abu Utsman dari Anas bin Malik -radhiyallahu’anhu-, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadaku, “Wahai anakku.”

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Kitab al-Adab dalam Shahihnya,
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَابْنُ أَبِى عُمَرَ – وَاللَّفْظُ لاِبْنِ أَبِى عُمَرَ – قَالاَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِى خَالِدٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِى حَازِمٍ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ مَا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَحَدٌ عَنِ الدَّجَّالِ أَكْثَرَ مِمَّا سَأَلْتُهُ عَنْهُ فَقَالَ لِى « أَىْ بُنَىَّ وَمَا يُنْصِبُكَ مِنْهُ إِنَّهُ لَنْ يَضُرَّكَ ». قَالَ قُلْتُ إِنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنَّ مَعَهُ أَنْهَارَ الْمَاءِ وَجِبَالَ الْخُبْزِ. قَالَ « هُوَ أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ ذَلِكَ ».
Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Abi Umar menuturkan kepada kami -sedangkan lafazhnya milik Ibnu Abi Umar-, mereka berdua berkata: Yazid bin Harun menuturkan kepada kami dari Isma’il bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari al-Mughirah bin Syu’bah -radhiyallahu’anhu- dia berkata: Tidak pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh seorang pun yang lebih banyak daripada apa yang pernah kutanyakan kepada beliau tentangnya (Dajjal). Maka beliau pun berkata kepadaku, “Wahai anakku, apa yang membuatmu capek-capek memikirkan dia (Dajjal). Sesungguhnya dia tidak akan bisa membahayakanmu.” Dia (al-Mughirah bin Syu’bah) berkata: Aku berkata: “Sesungguhnya mereka menganggap bahwa dia memiliki sungai-sungai yang penuh dengan air dan bukit-bukti dari roti.” Beliau menjawab, “Dia itu lebih ringan dalam pandangan Allah daripada apa yang mereka kira (tidak perlu dibesar-besarkan, pent).”
Kandungan hukum
Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan,
…وفى هذين الحديثين جواز قول الانسان لغير ابنه ممن هو أصغر سنا منه يا ابنى ويا بني مصغرا وياولدى ومعناه تلطف وانك عندى بمنزلة ولدى فى الشفقة…
“… Di dalam kedua hadits ini terkandung -hukum- diperbolehkannya ucapan seseorang kepada orang yang bukan anaknya sendiri yaitu kepada orang yang lebih kecil usianya daripada dirinya dengan panggilan ‘Wahai anakku’, ‘Wahai anak kecilku’ dengan ungkapan pengecilan (isim tashghir, pent), atau ‘Wahai putraku’ hal itu dalam rangka berlemah lembut dan menunjukkan bahwa kedudukanmu bagiku bagaikan kedudukan anakku sendiri yang sangat kusayangi…” (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim [14/129] software Maktabah asy-Syamilah)
Did you like this? Share it:

Apa Artinya?

Sebagian orang mungkin bertanya; apa arti kehidupan ini? Kalau kita cermati akan banyak sekali jawaban untuk satu pertanyaan ini. Sebagian menjawab, bahwa kehidupan adalah uang. Sehingga setiap detik hidup ini yang dicari adalah uang. Artinya apabila dia tidak memiliki uang, seolah-olah kehidupannya telah hilang. Sebagian lagi menjawab, bahwa kehidupan adalah kedudukan. Sehingga setiap detik yang dicari adalah kedudukan. Sebagian lagi memandang bahwa kehidupan adalah kesempatan untuk bersenang-senang. Maka bagi golongan ini kesenangan duniawi adalah tujuan utama yang dicari-cari.

Saudaraku -semoga Allah merahmatimu- kehidupan ini adalah sebuah kesempatan yang sangat berharga untuk kita. Jangan sampai kita sia-siakan kehidupan di dunia ini untuk sesuatu yang tidak jelas dan akan sirna. Kenikmatan dunia ini pun kalau mau kita pikirkan dengan baik, maka tidaklah lama. Sebentar saja, bukankah demikian? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Seolah-olah tatkala  melihat hari kiamat itu, mereka tidaklah hidup (di dunia) kecuali hanya sesaat saja di waktu siang atau sesaat di waktu dhuha.” (QS. an-Nazi’at: 46)
Lalu apa yang harus kita lakukan di dunia ini? Sebuah pertanyaan menarik. Sebuah pertanyaan yang akan kita temukan jawabannya di dalam al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Jangan salah paham dulu… Jangan dikira bahwa itu artinya setiap detik kita harus berada di masjid, atau setiap detik kita harus membaca al-Qur’an, atau setiap hari kita harus berpuasa, sama sekali bukan demikian… Ibadah, mencakup segala ucapan dan perbuatan yang dicintai oleh Allah. Allah tidak menghendaki kita setiap detik berada di masjid. Allah juga tidak menghendaki kita setiap detik membaca al-Qur’an. Semua ibadah itu ada waktunya. Yang terpenting bagi kita adalah melakukan apa yang Allah cintai bagaimana pun keadaan kita dan di mana pun kita berada.
Di antara perkara yang dituntut pada diri kita adalah senantiasa mengingat Allah, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang banyak berdzikir dan mengingat Allah dalam segala kondisi. Ibnu Taimiyah pernah mengungkapkan, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Lantas apa yang akan terjadi pada seekor ikan jika ia dikeluarkan dari air?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan mengatakan, “Perumpamaan orang yang mengingat Allah dengan orang yang tidak mengingat Allah adalah seperti perumpamaan orang yang hidup dengan orang yang mati.” (HR. Bukhari)
Dengan mengingat Allah, maka kita akan berhati-hati dalam menjalani hidup ini. Karena Allah senantiasa mengawasi kita dan mengetahui apa yang kita ucapkan, apa yang kita lakukan, di mana pun dan kapan pun. Tidak ada yang tersembunyi dari-Nya perkara sekecil apapun. Inilah yang semestinya senantiasa kita tanamkan di dalam hati kita. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, “Bertakwalah kepada Allah dimana pun kamu berada.” (HR. Tirmidzi). Kita harus bertakwa kepada Allah baik ketika berada di rumah, di jalan, di kampus, di pasar atau di mana pun kita berada, ketika bersama orang maupun ketika bersendirian.
Menjadi orang yang bertakwa itu bagaimana? Saudaraku -semoga Allah menunjuki kita- ketakwaan itu akan diraih manakala kita senantiasa mengingat adanya hari pembalasan dan bersiap-siap untuk menghadapinya dengan menjalankan ajaran-ajaran-Nya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu bahwa takwa adalah, “Rasa takut kepada Allah, beramal dengan wahyu yang diturunkan, dan bersiap-siap menyambut hari kiamat.” Allahu a’lam.
Did you like this? Share it:

Saudaraku… Apa Yang Kau Cari?

Salah seorang teman -semoga Allah menambahkan kepadanya ilmu yang bermanfaat- pernah menulis sebuah artikel dengan judul yang kurang lebih sama dengan judul tulisan ini. Namun, pada kesempatan ini saya hanya akan sedikit menyampaikan beberapa keterangan dan sedikit mengkaji realita yang ada di sekitar kita demi mengingatkan diri kami sendiri dan segenap ikhwah
Pertama; Masalah Niat
Kita semua mengetahui bahwa amalan yang kita lakukan akan sangat tergantung pada niat pelakunya. Oleh sebab itu kami mengingatkan kepada segenap ikhwah untuk senantiasa menjaga niat dalam beramal karena Allah, bukan karena mencari tujuan-tujuan yang rendah dan hina. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai berdasarkan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: Allah ta’ala berfirman, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan diri-Ku dengan selain-Ku maka akan Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya.” (HR. Muslim). Maka keikhlasan adalah perkara yang sangat penting dan tidak boleh dilupakan oleh setiap kita, dalam setiap amalan yang kita lakukan, di mana pun dan kapan pun…
Kedua; Masalah Prioritas
Kita semua mengetahui bahwa keutamaan amalan itu bertingkat-tingkat, ada yang wajib dan ada yang sunnah, ada yang utama dan ada yang lebih utama, ada yang penting dan ada yang lebih penting. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah ta’ala berfirman, “Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada mengerjakan hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya…” (HR. Bukhari)
Oleh sebab itu hendaknya kita lebih mendahulukan sesuatu yang memiliki urgensi dan keutamaan yang lebih daripada sesuatu yang kurang penting dan kurang utama, terlebih lagi di saat-saat kebanyakan manusia tenggelam dalam kelalaian dan penyimpangan-penyimpangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ibadah di saat fitnah berkecamuk laksana berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR. Muslim)
Ketiga; Masalah Ilmu
Kita semua mengetahui bahwa ilmu merupakan pintu menuju kebahagiaan, keselamatan, dan kemuliaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah maka akan dipahamkan oleh-Nya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu [agama] niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Oleh sebab itu hendaknya kita bersemangat dalam menuntut ilmu ini. Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan, “Barangsiapa yang menuntut ilmu dalam rangka menghidupkan ajaran Islam, maka dia termasuk Shiddiqin dan derajatnya adalah sesudah derajat kenabian.” Imam Ahmad rahimahullah juga berkata, “Manusia lebih membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu, ia dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.”
Keempat; Masalah Hidayah
Kita semua mengetahui betapa butuhnya kita terhadap hidayah dan bimbingan dari Allah ta’ala. Sehingga setiap hari kita memohon kepada-Nya untuk ditunjuki jalan yang lurus. Hidayah ini mencakup petunjuk berupa ilmu dan amalan. Karena orang yang berjalan di atas jalan yang lurus adalah yang memadukan antara ilmu dan amalan. Bukan sekedar berilmu tapi tidak beramal. Bukan juga beramal namun tanpa ilmu.
Oleh sebab itu kita harus menjaga nikmat hidayah ini dengan baik. Jangan sampai Allah mencabut hidayah ini dari dalam diri kita akibat kelalaian dan kesalahan kita sendiri. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tatkala mereka menyimpang maka Allah pun simpangkan hati mereka.” (QS. ash-Shaff: 5). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka dia akan mendapatkan penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya di hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata: Wahai Rabbku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku bisa melihat. Allah menjawab; Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami akan tetapi kamu justru melupakannya, maka demikian pula pada hari ini kamu dilupakan.” (QS. Thaha: 124-125)
Kelima; Masalah Dakwah
Kita semua juga mengetahui bahwa dakwah merupakan tugas agung para pengikut setia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dakwah memiliki keutamaan dan urgensi yang sangat besar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas ilmu yang nyata, aku dan orang-orang yang mengikutiku, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)
Oleh sebab itu ilmu yang telah kita dapatkan tidak boleh disembunyikan. Hendaknya kita ikut berpartisipasi dalam menyebarluaskannya. Terlebih lagi di masa seperti masa kita sekarang ini tatkala kebatilan dan kemaksiatan begitu gencarnya dipromosikan melalui segala sarana, baik di kota maupun di desa, di kalangan orang tua maupun anak muda. Imam Ahmad rahimahullah pernah berkata, “Ilmu itu tidak bisa ditandingi oleh apapun, yaitu bagi orang yang niatnya benar.” Ketika ditanya apa maksud niat yang benar itu, beliau menjawab, “Yaitu belajar dalam rangka menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan dari orang lain.”
Keenam; Masalah Sabar
Kita semua mengetahui bahwa untuk menuntut ilmu, mengamalkannya dan mendakwahkannya tentu saja dibutuhkan kesabaran. Demikian juga untuk menjauhi larangan-larangan, menjalankan perintah, serta tatkala mengalami musibah. Maka hendaknya setiap kita menggembleng diri dengan kesabaran. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dengan bekal kesabaran dan keyakinan, maka akan diraih kepemimpinan dalam urusan agama.”
Para ulama kita juga menegaskan, bahwa sabar laksana kepala bagi anggota badan. Apabila kesabaran itu hilang maka hilanglah keimanan. Sabar ini sangat dibutuhkan. Lihatlah kesabaran para ulama kita dalam menuntut ilmu hingga harus merasakan haus dan lapar, jauh dari sanak famili, harus meninggalkan tanah kelahiran mereka, bahkan ada di antara mereka yang rela menjual pakaian dan bahkan rumahnya demi menuntut ilmu.
Demikian juga lihatlah kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai ujian dan tekanan yang datang dari musuh-musuh dakwahnya. Tidaklah itu semua mereka lakukan kecuali karena keyakinan mereka akan kebenaran janji Allah ta’ala kepada orang-orang yang sabar. Allah tidak akan menyia-nyiakan jerih payah mereka, Allah tidak akan menyia-nyiakan keimanan dan kesabaran mereka selama hidup di dunia… Karena Allah akan membalasnya dengan surga yang kenikmatannya belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terlintas dalam hati manusia… Sebuah kenikmatan yang sekali celupan di dalamnya bisa melupakan segala kesusahan dan kerepotan yang pernah dialaminya selama hidup di dunia…
Ketujuh; Masalah Akidah
Kita semua telah mengetahui keutamaan dan urgensi akidah bagi individu dan masyarakat. Sebab akidah yang benar merupakan kunci keselamatan pada hari pembalasan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu [hari kiamat] tidaklah berguna harta dan keturunan kecuali bagi orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89). Allah pun menjadikan dakwah kepada akidah yang benar sebagai pondasi dan ruh dakwah para nabi dan rasul. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36)
Oleh sebab itu selayaknya setiap pribadi muslim dan muslimah memiliki perhatian yang besar terhadap masalah akidah, memahaminya dengan benar dan berusaha mendakwahkannya kepada umat setelah berusaha menanamkannya di dalam dirinya sendiri. Janganlah kita meremehkan masalah akidah, karena ia adalah pondasi dan ruh agama ini. Akidah tidak hanya dibutuhkan di permulaan, di tengah-tengah, ataupun di akhir saja, namun dia dibutuhkan di semua waktu dan di segala kondisi. Inilah ibadah hati yang tidak boleh terlepas barang sedetik pun dari hati setiap insan.
Kita harus ingat, bahwa bodoh dan lalai terhadap akidah adalah gerbang kehancuran. Allah ta’ala berfirman tentang bahaya penyimpangan akidah ini (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga, dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. al-Ma’idah: 72). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nisaa’: 48)
Kedelapan; Masalah Bahasa Arab
Kita semua juga telah mengetahui bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits ditulis dalam bahasa arab, demikian juga kitab-kitab para ulama kita. Maka menjadi kebutuhan bagi kita semua untuk bisa memahami ayat-ayat, hadits-hadits serta keterangan para ulama dengan benar. Oleh sebab itu alangkah pentingnya bagi setiap penuntut ilmu untuk mempelajari bahasa ini. Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu berkata, “Pelajarilah bahasa arab, karena ia adalah bagian penting dari agama kalian.” Dengan memahami bahasa arab, maka seorang penuntut ilmu akan dapat membaca kitab-kitab tafsir, hadits dan fikih serta kitab-kitab ushul yang akan sangat berguna bagi pembentukan pribadi muslim yang cerdas dan bermanfaat bagi umat manusia.
Kesembilan; Masalah Waktu
Kita semua mengetahui bahwa waktu, umur dan kesempatan merupakan kenikmatan yang tidak ternilai harganya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua nikmat yang banyak orang tertipu olehnya; yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari). Oleh sebab itu, Allah ta’ala juga bersumpah dengan waktu. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi waktu. Sesungguhnya semua orang benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)
Oleh sebab itu semestinya kita gunakan waktu ini sebaik-baiknya demi kebahagiaan hidup kita di dunia maupun di akhirat. Sebab kita juga tidak tahu kapan kita akan mati dan dalam keadaan apa kita mati. Yang bisa kita lakukan adalah beramal dan beramal. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu adalah kumpulan hari. Apabila berlalu hari itu, maka hilanglah sebagian dari dirimu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, “Bersegeralah dalam beramal sebelum datangnya fitnah-fitnah seperti potongan malam yang gelap gulita. Pada waktu pagi seorang beriman namun di sore hari menjadi kafir, atau pada sore hari dia beriman dan esok harinya kafir, dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia.” (HR. Muslim)
Penutup

Mungkin ini saja sebagian catatan yang rasanya perlu kami sampaikan sebagai pengingat bagi diri kami dan pembaca sekalian, mengingat pentingnya hal ini untuk disampaikan dan demikian banyaknya perkara yang menjauhkan kaum muslimin dari agama mereka.
Tulisan ini terutama kami tujukan kepada segenap generasi muda yang telah diberikan kenikmatan oleh Allah berupa akal pikiran dan kesempatan serta kekuatan, agar mereka tidak menyia-nyiakan berbagai kesempatan baik yang telah dibukakan untuk mereka.
Semoga yang singkat ini bermanfaat, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
* Tulisan ini disusun dengan saran dari salah seorang teman -semoga Allah senantiasa menjaganya-
Did you like this? Share it:

Pribadi Teladan

Banyak kita temukan gambaran mengenai pribadi teladan di dalam untaian ayat-ayat al-Qur’an. Di antaranya adalah apa yang digambarkan Allah ta’ala di dalam ayat (yang artinya), “Dan orang-orang yang memberikan apa saja yang mampu mereka persembahkan sementara hati mereka merasa takut; bagaimanakah nasib mereka kelak ketika dikembalikan kepada Rabb mereka.” (QS. al-Mu’minun: 60). Inilah gambaran ideal seorang mukmin. Sosok yang mempersembahkan ketaatan dengan sebaik-baiknya. Di saat yang sama, dia juga merasa takut kalau amalannya tidak diterima.
Sebagaimana yang masyhur dari ucapan Hasan al-Bashri rahimahullah, “Seorang mukmin memadukan antara ihsan -perbuatan baik dalam hal amal- dan rasa takut. Adapun seorang munafik -atau fajir- memadukan antara isa’ah/perbuatan jelek dan perasaan aman -dari hukuman Allah-.” Pribadi semacam ini tak mudah untuk dijumpai, namun bukan berarti tidak ada. Para Sahabat Nabi adalah barisan terdepan dalam mewujudkan keteladanan ini dalam hidup mereka. Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka semua merasa takut kalau-kalau dirinya tertimpa kemunafikan.” Padahal, kita semua mengetahui betapa agung kedudukan para Sahabat yang dikatakan oleh sebagian salaf bahwa iman mereka itu laksana gunung. Bahkan, sampai-sampai dikatakan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu dalam sebuah riwayat yang disandarkan kepada beliau, “Seandainya iman Abu Bakar [saja] ditimbang dengan iman segenap umat ini -selain para Nabi- niscaya iman Abu Bakar yang lebih berat.” Subhanallah!
Kebanyakan orang tatkala berhasil melakukan kebaikan terlalu larut dengan rasa gembira karena keberhasilannya. Seolah-olah dirinyalah yang ‘menciptakan’ keberhasilan itu. Sehingga tidak jarang muncul dari lisan atau tingkah lakunya yang mencerminkan perasaan ini. Lupa diri, itulah yang terjadi. Fenomena semacam ini sungguh memprihatinkan. Karena perasaan semacam ini akan menyeret pelakunya kepada ujub yang oleh para ulama dimasukkan dalam kategori syirik; sebab orang yang ujub mempersekutukan Allah dengan -kemampuan- dirinya sendiri (sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rayyis hafizhahullah dalam salah satu ceramah beliau). Oleh karena itu, kalau kita bandingkan kondisi kita hari ini dengan para salafus shalih dahulu, amatlah jauh! Bagaikan langit dengan [dasar] sumur, begitu kata orang…
Suatu ketika, Aisyah radhiyallahu’anha -seorang istri Nabi yang sangat cerdas- bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kandungan ayat dalam surat al-Mu’minun di atas, “Apakah mereka itu -yang merasa takut- adalah orang-orang yang suka minum khamr, berzina, atau mencuri?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan, wahai putri ash-Shiddiq! Akan tetapi mereka itu adalah orang-orang yang suka berpuasa, mengerjakan sholat, dan rajin bersedekah, namun mereka khawatir kalau-kalau amalan mereka itu tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan-kebaikan.” (HR. Tirmidzi, lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amalu, hal. 17).
Mereka menyadari bahwa apa yang mereka persembahkan kepada Allah jauh daripada yang semestinya diterima oleh-Nya. Mereka tidak su’udzan kepada Allah, namun su’udzan kepada dirinya sendiri. Bagi mereka semua kebaikan yang mereka lakukan adalah berkat taufik dari-Nya, bukan hasil jerih payah mereka sendiri. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan dari-Nya. Kalaulah Allah menerima amal mereka itu jelas karena kemurahan dari-Nya. Namun, kalau misalnya tidak diterima oleh-Nya, maka hal itu semata-mata karena kekurangan dan keteledoran diri mereka, sehingga apa yang mereka persembahkan tidak layak untuk-Nya (lihat al-Fawa’id, hal. 36). Demikianlah keadaan orang yang mengenal siapa dirinya dan siapa Rabbnya. Wallahul musta’aan.
Did you like this? Share it:

Hukuman Terberat

Segala puji bagi Allah, yang membentangkan tangan-Nya untuk menerima taubat hamba-hamba-Nya. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi-Nya, teladan bagi segenap manusia, yang menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus menuju ampunan dan ridha-Nya. Amma ba’du.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang hamba mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada hati yang keras dan jauh dari Allah.” (al-Fawa’id, hal. 95).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh celaka orang-orang yang berhati keras dari mengingat Allah, mereka itu berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. az-Zumar: 22).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, “Maksudnya, hati mereka tidak menjadi lunak dengan membaca Kitab-Nya, tidak mau mengambil pelajaran dari ayat-ayat-Nya, dan tidak merasa tenang dengan berzikir kepada-Nya. Akan tetapi hati mereka itu berpaling dari Rabbnya dan condong kepada selain-Nya…” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 722).
Ciri-Ciri Orang Berhati Keras

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa ciri orang yang berhati keras itu adalah tidak lagi merespon larangan dan peringatan, tidak mau memahami apa maksud Allah dan rasul-Nya karena saking kerasnya hatinya. Sehingga tatkala setan melontarkan bisikan-bisikannya dengan serta-merta hal itu dijadikan oleh mereka sebagai argumen untuk mempertahankan kebatilan mereka, mereka pun menggunakannya sebagai senjata untuk berdebat dan membangkang kepada Allah dan rasul-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 542)
Orang yang berhati keras itu tidak bisa memetik pelajaran dari nasehat-nasehat yang didengarnya, tidak bisa mengambil faedah dari ayat maupun peringatan-peringatan, tidak tertarik meskipun diberi motivasi dan dorongan, tidak merasa takut meskipun ditakut-takuti. Inilah salah satu bentuk hukuman terberat yang menimpa seorang hamba, yang mengakibatkan tidak ada petunjuk dan kebaikan yang disampaikan kepadanya kecuali justru memperburuk keadaannya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 225).
Orang yang memiliki hati semacam ini, tidaklah dia menambah kesungguhannya dalam menuntut ilmu melainkan hal itu semakin mengeraskan hatinya… Wal ‘iyadzu billah (kita berlindung kepada Allah darinya)… Maka sangat wajar, apabila sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengingatkan kita semua, “Ilmu itu bukanlah dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi hakekat ilmu itu adalah rasa takut.” Abdullah anak Imam Ahmad pernah bertanya kepada bapaknya, “Apakah Ma’ruf al-Kurkhi itu memiliki ilmu?!”. Imam Ahmad menjawab, “Wahai putraku, sesungguhnya dia memiliki pokok ilmu!! Yaitu rasa takut kepada Allah.” (lihat Kaifa Tatahammasu, hal. 12).
Sebab Hati Menjadi Keras

Sebab utama hati menjadi keras adalah kemusyrikan. Oleh sebab itu Ibnu Juraij rahimahullah menafsirkan ‘orang-orang yang berhati keras’ dalam surat al-Hajj ayat 53 sebagai orang-orang musyrik (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/326]). Demikian pula orang-orang yang bersikeras meninggalkan perintah-perintah Allah dan orang-orang yang memutarbalikkan ayat-ayat Allah (baca: ahlul bid’ah); mereka menyelewengkan maksud ayat-ayat agar cocok dengan hawa nafsunya. Orang-orang seperti mereka adalah orang-orang yang berhati keras (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 225). Selain itu,  faktor lain yang menyebabkan hati menjadi keras adalah berlebih-lebihan dalam makan, tidur, berbicara dan bergaul (lihat al-Fawa’id, hal. 95)
Lembut dan Kuatkan Hatimu!

Sudah semestinya seorang muslim -apalagi seorang penuntut ilmu!- berupaya untuk memelihara keadaan hatinya agar tidak menjadi hati yang keras membatu. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa hati seorang hamba akan menjadi sehat dan kuat apabila pemiliknya menempuh tiga tindakan:
  1. Menjaga kekuatan hati. Kekuatan hati akan terjaga dengan iman dan wirid-wirid ketaatan.
  2. Melindunginya dari segala gangguan/bahaya. Perkara yang membahayakan itu adalah dosa, kemaksiatan dan segala bentuk penyimpangan.
  3. Mengeluarkan zat-zat perusak yang mengendap di dalam dirinya. Yaitu dengan senantiasa melakukan taubat nasuha dan istighfar untuk menghapuskan dosa-dosa yang telah dilakukannya (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 25-26)
Sungguh indah perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Setiap hamba pasti membutuhkan waktu-waktu tertentu untuk menyendiri dalam memanjatkan doa, berzikir, sholat, merenung, berintrospeksi diri dan memperbaiki hatinya.” (dinukil dari Kaifa Tatahammasu, hal. 13). Ibnu Taimiyah juga berkata, “Dzikir bagi hati laksana air bagi seekor ikan. Maka apakah yang akan terjadi apabila seekor ikan telah dipisahkan dari dalam air?” (lihat al-Wabil ash-Shayyib). Ada seseorang yang mengadu kepada Hasan al-Bashri, “Aku mengadukan kepadamu tentang kerasnya hatiku.” Maka beliau menasehatinya, “Lembutkanlah ia dengan berdzikir.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menginginkan kejernihan hatinya hendaknya dia lebih mengutamakan Allah daripada menuruti berbagai keinginan hawa nafsunya. Hati yang terkungkung oleh syahwat akan terhalang dari Allah sesuai dengan kadar kebergantungannya kepada syahwat. Hancurnya hati disebabkan perasaan aman dari hukuman Allah dan terbuai oleh kelalaian. Sebaliknya, hati akan menjadi baik dan kuat karena rasa takut kepada Allah dan ketekunan berdzikir kepada-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 95)
Langkah Selanjutnya?

Dari keterangan-keterangan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa untuk menjaga hati kita agar tidak keras dan membatu adalah dengan cara:
  1. Beriman kepada Allah dan segala sesuatu yang harus kita imani
  2. Mentauhidkan-Nya, yaitu dengan mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya dan membebaskan diri dari segala bentuk penghambaan kepada selain-Nya
  3. Melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan taat kepada rasul-Nya
  4. Meninggalkan perbuatan dosa, maksiat dan penyimpangan
  5. Banyak mengingat Allah, ketika berada di keramaian maupun ketika bersendirian
  6. Banyak bertaubat dan beristighfar kepada Allah untuk menghapus dosa-dosa kita
  7. Menanamkan perasaan takut kepada Allah dan berusaha untuk senantiasa menghadirkannya dimana pun kita berada
  8. Merenungi maksud ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
  9. Selalu bermuhasabah/berintrospeksi diri untuk memperbaiki diri dan menjaga diri dari kesalahan yang pernah dilakukan di masa lalu
  10. Bergantung kepada Allah dan mendahulukan Allah di atas segala-galanya

Ya Allah, lunakkanlah hati kami dengan mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu…
Did you like this? Share it: