Jika Nasehat Anda Ingin Didengar …
Anda
ingin nasehat yang anda sampaikan didengar dan disimak? Tidak ada
salahnya jika anda meluangkan waktu untuk membaca artikel berikut.
Agama ini memerintahkan pemeluknya untuk
menggalakkan budaya nasehat. Nasehat akan memperbaiki kepribadian
seorang yang dahulunya buruk. Nasehat pulalah yang mampu menciptakan
persaudaraan yang sejati. Namun, kesemuanya itu barulah dapat terwujud
apabila nasehat yang disampaikan dapat membekas dan meresap di dalam
jiwa.
Allah ta’ala memerintahkan nabi untuk memberikan nasehat yang dapat mempengaruhi jiwa para pendengarnya,
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ
اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ
فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلا بَلِيغًا (٦٣)
“Mereka itu adalah orang-orang
yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka wejangan/nasehat, dan
katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (An Nisaa: 63).
Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, maksudnya adalah dalam tujuan nasehat diketahui dan membekas di dalam jiwa mereka (Fathul Qadir 1/729; Asy Syamilah).
Sukses dalam memberikan nasehat haruslah memperhatikan beberapa kriteria berikut:
Nasehat haruslah disampaikan dengan
memperhatikan topik yang dibutuhkan oleh para pendengar. Jangan sampai
anda memberikan nasehat dengan topik yang tidak mereka butuhkan.
Sebagai permisalan, apabila anda melihat
mayoritas manusia lebih memprioritaskan kehidupan dunia daripada
mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat, maka topic yang seharusnya
disampaikan adalah menghasung mereka untuk cinta kepada akhirat dan
berlaku zuhud (tidak tamak) terhadap dunia.
Namun, jika seorang menasehati mereka
untuk tidak berlebih-lebihan dalam beribadah, sementara mereka belum
mampu untuk melaksanakan berbagai ajaran agama yang sifatnya wajib, maka
topik nasehat yang disampaikan pada saat itu tidaklah tepat, karena
unsur hikmah dalam memilih topik kurang diperhatikan.
Kefasihan sangat dituntut dalam nasehat yang hendak disampaikan. Sahabat pernah mengatakan,
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- يَوْمًا بَعْدَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً
ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ ….
“Selepas shalat Subuh,
rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan nasehat yang
sangat menyentuh, hati kami bergetar dan air mata pun berlinang.” (HR. Tirmidzi: 2676. Diabsahkan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashabih: 165).
Maka seorang pemberi nasehat hendaknya
menyampaikan nasehat dengan lafadz yang terbaik, yang paling mampu
menyentuh jiwa para pendengar, sehingga merekapun tertarik untuk
mendengarnya.
Waktu yang tepat juga turut berpengaruh.
Seorang pemberi nasehat hendaknya memilih momen yang tepat untuk
menyampaikan nasehatnya.
Pada hadits yang lalu, dapat kita perhatikan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyampaikan wejangan kepada para sahabatnya di waktu Subuh. Pada waktu
tersebut, tubuh sedang berada dalam kondisi puncak, setelah di waktu
malam beristirahat. Demikian pula, pada waktu tersebut, pikiran masih
jernih, belum terbebani.
Maka seorang pemberi nasehat harus mampu
memperhatikan kondisi orang yang hendak dinasehati, apakah pada saat itu
dia siap menerima nasehat ataukah tidak.
Nasehat juga janganlah bertele-tele dan panjang sehingga membosankan. Abu Wa-il pernah mengatakan, “Ammar radhiallahu ‘anhu pernah menyampaikan khutbah kepada kami secara ringkas namun mengena. Ketika selesai, maka kami mengatakan kepada beliau, “Alangkah baiknya jika anda memperpanjang khutbah” Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya
saya pernah mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya panjangnya shalat seorang dan pendeknya khutbay
yang disampaikan olehnya merupakan tanda akan kefakihan dirinya” Maka
hendaklah kalian memperpanjang shalat dan memperpendak khutbah.” (HR. Muslim: 869).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan tuntunan kepada uamtnya untuk tidak bertele-tele dan
berlama-lama dalam menyampaikan nasehat karena hal itu akan menyebabkan
pendengar bosan.
Materi yang bagus memang turut berpengaruh
terhadap suksesnya nasehat, namun sang pemberi nasehat pun harus
menghiasi dirinya dengan beberapa hal berikut:
Pemberi nasehat merupakan orang yang
pertama kali harus meyakini akan apa yang akan diucapkan dalam
nasehatnya, dialah yang pertama kali harus terpengaruh terhadap nasehat
yang hendak disampaikan.
Ammar bin Dzar rahimahullah
pernah ditanya oleh anaknya, “Mengapa tatkala orang lain berbicara,
tidak ada satupun yang menangis. Namun, ketika engkau berbicara, wahai
ayahku, kami mendengar tangisan dimana-mana?” Maka Ammar menjawab,
“Wahai anakku, nasehat yang tulus tidaklah sama dengan nasehat yang
direkayasa.” (Hilyatul Auliya 5/111; Ihya Ulumiddin 4/187; Asy Syamilah).
Anda dapat memperhatikan apabila nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan nasehat kepada para sahabat. Beliau menyampaikan nasehat
dengan serius, dengan suara yang tinggi sedang mata beliau memerah,
seakan-akan saat itu beliau sedang mengomandoi pasukan. Ini menunjukkan
keyakinan beliau akan kandungan yang terdapat dalam nasehat beliau.
Oleh karena itu, sahabat Irbadh radhiallahu ‘anhu pun menggambarkan bahwa nasehat beliau merupakan nasehat yang menggetarkan jiwa dan mampu membuat air mata ini berlinang.
Tulusnya nasehat merupakan buah dari hati
yang bersih dari penyakit. Seorang yang memiliki hati yang berpenyakit,
maka dapat dipastikan bahwa nasehat yang disampaikannya tidaklah mampu
menghunjam dalam hati pendengarnya. Tengok kembali perkataan Ammar bin
Dzar rahimahullah di atas! Apabila hati yang dipenuhi penyakit
ini diiringi dengan akhak yang buruk, maka nasehat yang diucapkan pun
tentu hanya dianggap sebagai angin lalu.
Seorang pemberi nasehat haruslah menjadi qudwah
(teladan) dalam perkataan dan perbuatan, karena orang yang mendengar
nasehatnya mesti akan memperhatikan gerak-geriknya. Jika ternyata orang
yang senantiasa memberikan nasehat kepada mereka justru melanggar
wejangan yang diberikan, maka mereka akan meremehkannya dan akan
berpaling, tidak menghiraukan dirinya dan nasehatnya lagi. Betapa banyak
kita menjumpai da’i-’da’i yang tidak mampu mendorong dirinya untuk
menjadi teladan yang baik bagi para mad’u (objek dakwah)-nya.
Semoga artikel ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar